Minggu, 07 April 2013

Keraton Mempawah


KERATON AMANTUBILLAH MEMPAWAH



 A.    Pendahuluan
Bagi yang belum pernah datang ke Kota Mempawah, ibu kota Kabupaten Pontianak, barangkali tidak akan menyangka kalau di sana masih ada istana atau keraton peninggalan salah satu kerajaan Islam tertua di Kalimantan Barat.
Namun, Kota Mempawah yang sehari-hari sepi-kalah ramainya dibandingkan dengan kota Kecamatan Sungai Pinyuh-mendadak meriah dan semarak. Ribuan orang dari berbagai penjuru Kalimantan Barat (Kalbar) datang ke Mempawah untuk mengunjungi Istana Amantubillah.
Maklum saja, Istana Amantubillah hari itu menyelenggarakan perhelatan akbar dengan beragam tradisi. Padahal, istana ini sudah cukup lama tidak menggelar kegiatan tradisi dan budaya sebagaimana mestinya, karena Pangeran Gusti Jimmy Mohammad Ibrahim yang memangku Panembahan Istana Amantubillah dalam beberapa tahun terakhir tidak bisa memimpin akibat sakit. Itulah sebabnya, pada 12 Agustus 2002 Jimmy Mohammad Ibrahim selaku Raja Istana Amantubillah XII menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim sebagai Raja Istana Amantubillah XIII.
Panembahan Istana Amantubillah XII, kata Pangeran Gusti Agus Muharso Taufik yang juga kakak sulung Mardan Adijaya, memutuskan Mardan menjadi penggantinya karena memiliki kecakapan memimpin dan peduli dengan persoalan istana, termasuk bersosialisasi dengan masyarakat.
Meskipun tidak sama persis, proses syukuran pengukuhan itu terlihat mirip yang dilakukan keraton-keraton besar, seperti di Yogyakarta dan Surakarta. Kehadiran para utusan kerabat kerajaan dari sekitar 15 keraton di Indonesia membuktikan bahwa Kerajaan Mempawah masih diakui sebagai salah satu kerajaan Islam tertua di Tanah Air.
APA arti Istana Amantubillah bagi pengembangan pariwisata Kalimantan Barat?
Gubernur Kalbar Usman Ja’far mengatakan, bagi Provinsi Kalbar sekarang harus diakui masih sebatas memberikan informasi mengenai potensi-potensi wisata daerah.
Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim mengatakan, pengukuhan dirinya sebagai panembahan bukanlah untuk kembali membangun semangat feodalisme. Tetapi, kegiatan ini untuk kembali menghargai sejarah, tradisi, dan budaya.
Oleh karena itu, kata Mardan, sudah saatnya bangsa ini meninggalkan rasa saling curiga dan saling bermusuhan satu sama lain. Dalam situasi sulit sekarang, bangsa Indonesia seharusnya semakin memperkuat persatuan bangsa.

"Kalau sekarang sejumlah negara bergabung menjadi satu untuk memperkokoh bangsa, justru sangat aneh kalau ada di antara kita yang ingin memisahkan diri," kata Mardan Adijaya yang sehari-hari dosen di Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Para raja di Istana Amantubillah memiliki tiga hal yang harus diperhatikan atau disebut juga tiga pacak. Pacak pertama adalah lela (ujung lidah). Dengan pacak ini para kerabat Keraton Amantubillah hendaknya menyelesaikan masalah secara diplomasi atau musyawarah, dan tidak melakukan kekerasan.Pacak kedua adalah lasa (kemaluan). Pacak ini diartikan sebagai upaya menjalin hubungan dengan kerajaan lain dengan tali perkawinan. Adapun pacak yang terakhir adalah badik. Ini jika tidak dapat dihindari lagi hubungan antarkeraton dilakukan dengan peperangan sebagai langkah terakhir.Bersamaan dengan acara pengukuhan tersebut, juga digelar acara budaya keraton serumpun. Gelar budaya yang berlangsung tiga hari ini menampilkan berbagai atraksi dan lomba kesenian serta pertandingan olahraga tradisional.

Upacara syukuran Raja Istana Amantubillah XIII juga dihadiri sejumlah pejabat dan para tokoh di Provinsi Kalbar, di antaranya mantan Gubernur Kalbar Aspar Aswin dan Wakil Gubernur Kalbar Djawari. Dari lingkungan keraton di luar Kalbar, di antaranya hadir Kanjeng Gusti Raden Ayu Koes Moeryati dari Kesultanan Surakarta Hadiningrat.
ISTANA Amantubillah di Mempawah memang tidak sebesar Keraton Kadariah di Kota Pontianak atau Keraton Sambas di Kabupaten Sambas. Namun, dilihat dari arsitektur bangunannya, Istana Amantubillah yang berbentuk rumah panggung ini sangat unik. Semuanya terbuat dari kayu dengan ornamen ukiran yang detail, dan kondisinya cukup baik hingga sekarang.
Istana ini memang mencerminkan asal pendiri kerajaan itu, yakni Opu Daeng Manambon dari Luwu, Sulawesi Selatan. Pada bangunan utama, ruang tengah istana berbentuk huruf "L".
Istana Amantubillah sebenarnya bukanlah pusat Kerajaan Mempawah pertama. Kerajaan ini dibangun Panembahan Mohammad Taufik Akkamaddin tahun 1922 sebagai raja yang ke-11. Istana ini adalah pusat kerajaan yang kelima. Kerajaan Mempawah pertama kali berpusat di Pegunungan Sidiniang (kini di daerah Mempawah Hulu) sekitar tahun 1380. Kerajaan ini juga disebut Kerajaan Sidiniang. Saat itu kerajaan itu dikenal sebagai kerajaan suku Dayak dengan rajanya bernama Patih Gumantar.
Tahun 1880, di masa Panembahan Ibrahim Muhammad Syafeiudin, istana ini pernah terbakar. Keraton Mempawah sekarang dibangun oleh Gusti Taufik dengan gelar Panembahan Taufik Muhammad Akkamaddin tahun 1922. Gusti Taufik juga merupakan raja terakhir yang memerintah kerajaan itu.
Makam raja ini sampai sekarang tidak diketahui, karena menjadi korban penculikan dan pembunuhan tentara Jepang pada masa Perang Dunia II. Sejak Republik Indonesia berdiri tahun 1945, Gusti H Jimmy Mohammad Ibrahim sebagai putra mahkota tidak berkuasa lagi karena kewenangan telah diserahkan kepada Pemerintah RI.
Istana Amantubillah adalah nama istana dari Kesultanan Mempawah di Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Kata amantubillah berasal dari bahasa Arab yang berarti “aku beriman kepada Allah. Nama istana tersebut mencerminkan bahwa sultan dan masyarakat Kesultanan Mempawah sangat percaya kepada Allah dan sekaligus melambangkan betapa kuatnya ajaran agama Islam terpatri pada setiap diri orang Melayu.  
Kesultanan Mempawah mulai dikenal pascakedatangan rombongan Opu Daeng Menambun dari Kerajaan Matan, Tanjungpura, ke Sebukit Rama, Mempawah lokasi Istana Amantubillah yang sekarang, sekitar tahun 1737 M. Eksistensinya kian diperhitungkan di kancah internasional setelah Opu Daeng Menambun dengan gelar Pangeran Mas Surya Negara naik tahta menggantikan Sultan Senggauk pada tahun 1740 M. Apalagi pada masa pemerintahannya, Habib Husein Alkadri, mantan hakim agama di Kerajaan Matan, pindah ke Kesultanan Mempawah. Maka, orang pun kemudian berbondong-bondong datang ke Mempawah tidak hanya untuk melakukan kontak dagang atau kontrak politik, tapi juga untuk mempelajari dan mendalami agama Islam.
Istana Amantubillah sesungguhnya baru didirikan sekitar tahun 1761 M oleh Panembahan Adi Wijaya Kesuma, sultan ke-3 Kesultanan Mempawah. Namun apa hendak dikata, pada tahun 1880 M istana tersebut terbakar. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin, sultan ke-9. Istana yang terlihat sekarang ini baru dibangun pada tahun 1922, ketika Gusti Taufik yang bergelar Panembahan Muhammad Taufik Akkamuddin, sultan ke-11, naik tahta.
Terhitung sejak tanggal 12 Agustus 2002, tampuk kepemimpinan Kesultanan Mempawah dipercayakan kepada Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, sebagai sultan ke-13.  

  B. Keistimewaan
  Sejuk dan artistik. Begitulah kira-kira kesan yang muncul ketika mengunjungi Istana Amantubillah. Rumputnya yang hijau, pepohonan palem yang berjajar rapi, serta berbagai jenis bunga yang tertata dengan baik kian menguatkan kesan tersebut. Apalagi kondisi fisik bangunan istana yang didominasi warna hijau muda tersebut masih terlihat bagus dengan dukungan ornamen-ornamen khas Melayu. 
Di halaman istana, pengunjung dapat melihat alun-alun yang berumput hijau dan Masjid Jamiatul Khair, masjid Kesultanan Mempawah, yang berdiri anggun.
Bangunan Istana Amantubillah terdiri dari tiga bagian. Bangunan utamanya terletak di tengah-tengah, sedangkan bangunan pendukungnya berada di sayap kanan dan kiri. Bangunan utama ini dahulunya merupakan tempat singgasana sultan dan permaisuri, serta tempat tinggal sultan beserta keluarganya. Di ruangan ini pengunjung dapat melihat foto-foto sultan beserta keluarganya, keris, busana kebesaran, dan payung kerajaan. Bangunan sayap kanan istana dahulunya digunakan sebagai tempat mempersiapkan keperluan dan tempat jamuan makan keluarga istana. Sekarang, bangunan tersebut difungsikan sebagai tempat tinggal kerabat istana. Sedangkan bangunan sayap kiri istana difungsikan sebagai pendopo istana. Bangunan tersebut dahulunya digunakan sebagai aula dan tempat mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Di kompleks istana, pengunjung dapat melihat kolam bekas pemandian sultan beserta keluarganya. Sayang, kolam pemandian tersebut tidak berfungsi lagi, karena pendangkalan dan tertutupnya saluran air yang menghubungkan kolam tersebut dengan anak Sungai Mempawah.
Selain itu, pengunjung juga masih dapat melihat bekas tempat peristirahatan dan tempat bersantai (gazebo) sultan beserta keluarganya.     

C. Lokasi
Letak Mempawah









Istana Amantubillah terletak di Kelurahan Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.  

D. Akses
Kota Mempawah berjarak sekitar 67 kilometer di sebelah utara Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Bandara Supadio atau Terminal Bus Pontianak, pengunjung dapat naik taksi, travel, dan bus sampai Kota Mempawah, ibu kota Kabupaten Pontianak. Dari Kota Mempawah, Istana Amantubillah berjarak sekitar 10 kilometer dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Pengunjung dapat mengakses istana yang berada di sekitar kawasan Sebukit Rama tersebut dengan menggunakan bus atau minibus.  

E. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya.

F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di sekitar Istana Amantubillah terdapat fasilitas, seperti masjid, tempat penginapan, warung makan, dan kios wartel. Di samping itu, jalan menuju istana ini sudah beraspal mulus, sehingga memudahkan pengunjung yang menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat untuk mengaksesnya. 



Daftar Pustaka
Suryani, elyas soren, 2005, sejarah mempawah. Mempawah
Usman,sarifudin, 1999,  Sejarah Kalimantan Barat. Pontianak






Kerajaan Matan Ketapang


Kerajaan Matan Tanjungpura

1. Sejarah
Jika merunut sejarahnya, Kerajaan Matan yang sekarang berada di Ketapang, Kalimantan Barat, merupakan bagian dari jajaran kerajaan Melayu yang terdapat di Pulau Kalimantan. Sejarah dan asal-usul Kerajaan Matan sendiri cukup rumit karena kerajaan ini merupakan kelanjutan riwayat dari Kerajaan Tanjungpura yang kemudian melahirkan dua kerajaan turunan, yaitu Kerajaan Sukadana dan Kerajaan Matan. Oleh karena dilanda konflik internal yang berujung pada perebutan kekuasaan, Kerajaan Matan kemudian terbagi menjadi dua, yakni Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan. Di sisi lain, Kerajaan Sukadana, sebagai penerus pertama Kerajaan Tanjungpura, masih tetap eksis di samping geliat dua kerajaan pecahan Kerajaan Matan tersebut. Kerajaan Tanjungpura sendiri pada awalnya merupakan kerajaan yang didirikan oleh Brawijaya yang berasal dari Kerajaan Majapahit di Jawa. Pada masa Brawijaya, Kerajaan Tanjungpura sempat menjadi kerajaan besar pada zaman Hindu-Buddha di bumi Borneo.
Kerajaan Tanjungpura mengalami masa keemasan pada sekitar abad ke-14. Kerajaan ini adalah kerajaan tertua di Tanah Kayong. Nama Tanah Kayong digunakan untuk menyebut Ketapang yang terkenal sebagai tanah asal orang-orang sakti. Dari riwayat sejarah Kerajaan Tanjungpura inilah asal-usul peradaban Kerajaan Matan turut tergurat. Sumber yang menyatakan tentang keberadaan Kerajaan Tanjungpura dapat dibaca dalam Negarakertagama karangan Mpu Prapanca pada masa Kertanegara (1268—1292) dari Singosari dan pada masa Kerajaan Majapahit dengan Sumpah Palapa Patih Mangkubumi Gajah Mada (Gusti Mhd. Mulia [ed.], 2007:1).
Istana Matan-Tanjungpura Tahun 1977
Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya. Beberapa penyebab Kerajaan Tanjungpura berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari kawanan perompak (bajak laut) atau dikenal sebagai “Lanon”. Konon, di masa itu sepak-terjang gerombolan “Lanon” sangat kejam dan meresahkan penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain. Kerap berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut.
Negeri Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665−1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia [ed.], 2007:5). Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Nama Matan sendiri mulai digunakan pada era pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin yang merupakan raja pertama Kerajaan Matan. Sultan Muhammad Zainuddin, yang memiliki nama kecil Gusti Jakar Negara, adalah putra sulung dari Raja Sukadana yang terakhir, yaitu Gusti Kesuma Matan alias Gusti Mustika (1622—1665) yang juga memiliki dua anak lainnya, yakni Pangeran Agung dan Indra Mirupa atau Indra Kesuma. Gusti Mustika sendiri merupakan Raja Matan pertama yang menggunakan gelar sultan, gelar raja yang berciri Islam, dan menyandang gelar Sultan Muhammad Syaifuddin. Agama Islam sendiri sudah masuk ke Kalimantan sejak permulaan tahun 1550 yang dibawa kaum pedagang Arab dari Palembang.
Pada akhir pemerintahan Kerajaan Sukadana di bawah rezim Sultan Muhammad Syaifuddin, terjadi peperangan yang dikenal sebagai Perang Sanggau. Selain itu, pada 1622 Kerajaan Sukadana juga mendapat serangan dari Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Sultan Agung. Tidak hanya itu, gangguan dari gerombolan bajak laut di sepanjang perairan pantai dan Selat Karimata pun semakin merajalela. Kekacauan demi kekacauan inilah yang kemudian berakibat pada runtuhnya Kerajaan Sukadana. Agar tetap bertahan, maka pusat Kerajaan Matan dipindahkan ke wilayah yang kemudian dikenal sebagai tempat berdirinya Kerajaan Matan di bawah pimpinan putra mahkota Gusti Jakar Negara atau Sultan Muhammad Zainuddin.
Pemerintahan perdana Kerajaan Matan pertama oleh Sultan Muhammad Zainuddin ternyata tidak berjalan mulus. Ancaman justru datang dari Pangeran Agung yang berambisi untuk menggulingkan tahta kakaknya. Untuk mengatasi ancaman perpecahan ini, Sultan Muhammad Zainuddin mendapat bantuan dari lima bersaudara asal Bugis yang datang dari Simpang ke Matan. Lima bersaudara yang terkenal dengan sebutan Daeng Menambun ini terdiri dari Opu Daeng Perani, Opu Daeng Manambon, Opu Daeng Naraweh, Opu Daeng Kemasih, dan Opu Daeng Calak (Mulia [ed.], 2007:18). Atas pertolongan dari Daeng Menambun bersaudara, selamatlah tahta Sultan Muhammad Zainuddin dengan berhasil ditangkapnya Pangeran Agung.
Fase Perkembangan Kerajaan Tanjungpura
Setelah Sultan Muhammad Zainuddin lengser, pemerintahan Kerajaan Matan diteruskan oleh putranya yang bernama Gusti Kesuma Bandan dan bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin yang memerintah pada kurun 1724−1738. Sultan Muhammad Muazzuddin memiliki tiga orang putra, yaitu Gusti Bendung, Gusti Irawan, dan Gusti Muhammad Ali. Ketika Sultan Muhammad Muazzuddin wafat, ditunjuklah Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung sebagai penerus tahta Kerajaan Matan dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1738−1749). Sementara anak kedua Sultan Muhammad Muazzuddin, yaitu Gusti Irawan, menjadi raja di Kayong (Muliakerta) dengan gelar Sultan Mangkurat yang membawahi Kerajaan Kayong-Matan (sering pula disebut sebagai Kerajaan Tanjungpura II).
Pada kurun berikutnya (1749−1762), pemerintahan Matan dipegang oleh anak tertua dari Sultan Muhammad Tajuddin yaitu Sultan Ahmad Kamaluddin yang bernama asli Gusti Kencuran (Mulia [ed.], 2007:24). Terakhir, tahta kuasa Kerajaan Matan diturunkan kepada Gusti Asma yang bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin (1762−1819). Sultan inilah yang menjadi raja pamungkas Dinasti Matan karena setelah itu pusat pemerintahan dipindahkan ke wilayah bernama Simpang yang letaknya tidak seberapa jauh dari Matan, dan nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Simpang atau sering pula dikenal sebagai Kerajaan Simpang-Matan, karena kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Matan.
Dengan demikian, terdapat dua kerajaan yang menyandang nama Matan, yaitu Kerajaan Simpang-Matan di bawah komando Sultan Muhammad Jamaluddin, dan Kerajaan Kayong-Matan yang dipimpin oleh Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat. Jika diurutkan, terdapat beberapa kerajaan yang merupakan keturunan dari Kerajaan Tanjungpura, yaitu Kerajaan Sukadana, Kerajaan Matan, Kerajaan Simpang-Matan, serta Kerajaan Kayong-Matan. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut masih terjalin hubungan kekerabatan yang cukup erat kendati masih sering terjadi pasang surut karena beberapa sebab perselisihan dan campur tangan penjajah Belanda.
2. Silsilah Raja-Raja
Dalam melacak jejak raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Matan, patut diketahui pula silsilah raja-raja Kerajaan Tanjungpura karena kedua kerajaan ini sebenarnya masih dalam satu rangkaian riwayat panjang. Berhubung terdapat beberapa versi tentang sejarah dan silsilah raja-raja Tanjungpura beserta kerajaan-kerajaan lain yang masih satu rangkaian dengannya, maka berikut ini dipaparkan silsilahnya menurut salah satu versi, yaitu berdasarkan buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura (2007) suntingan Drs H Gusti Mhd. Mulia:
Kerajaan Tanjungpura
1.Brawijaya (1454−1472).
2.Bapurung (1472−1487).
3. Panembahan Karang Tanjung (1487−1504).
Pada masa pemerintahan Panembahan Karang Tanjung, pusat Kerajaan Tanjungpura yang semula berada di Negeri Baru dipindahkan ke Sukadana, dengan demikian nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Sukadana.
Kerajaan Sukadana
1.Panembahan Karang Tanjung (1487−1504).
2.Gusti Syamsudin atau Pundong Asap atau Panembahan Sang Ratu Agung (1504−1518).
3.Gusti Abdul Wahab atau Panembahan Bendala (1518−1533).
4.Panembahan Pangeran Anom (1526−1533).
5.Panembahan Baroh (1533−1590).
6.Gusti Aliuddin atau Giri Kesuma atau Panembahan Sorgi (1590−1604).
7.Ratu Mas Jaintan (1604−1622).
8.Gusti Kesuma Matan atau Giri Mustika atau Sultan Muhammad Syaifuddin   (1622−1665).
Inilah raja terakhir Kerajaan Sukadana sekaligus raja pertama dari Kerajaan Tanjungpura yang memeluk agama Islam.
Kerajaan Matan
1.Gusti Jakar Kencana atau Sultan Muhammad Zainuddin (1665−1724).
2.Gusti Kesuma Bandan atau Sultan Muhammad Muazzuddin (1724−1738).
3.Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung atau Sultan Muhammad Tajuddin (1738−1749).
4.Gusti Kencuran atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1749−1762).
5. Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762−1819).
Gusti Asma adalah raja terakhir Kerajaan Matan dan pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Kerajaan Matan dialihkan ke Simpang, dan nama kerajaannya pun berganti menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan.
Kerajaan Simpang-Matan
1.Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762−1819).
2.Gusti Mahmud atau Panembahan Anom Suryaningrat (1819−1845).
3.Gusti Muhammad Roem atau Panembahan Anom Kesumaningrat (1845−1889).
4.Gusti Panji atau Panembahan Suryaningrat (1889−1920).
5.Gusti Roem atau Panembahan Gusti Roem (1912−1942).
6.Gusti Mesir atau Panembahan Gusti Mesir (1942−1943).
7.Gusti Ibrahim (1945).
Gusti Mesir menjadi tawanan tentara Jepang yang berhasil merebut wilayah Indonesia dari Belanda pada 1942, karena itulah maka terjadi kekosongan pemerintahan di Kerajaan Simpang. Pada akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia, sekira tahun 1945, diangkatlah Gusti Ibrahim, anak lelaki Gusti Mesir, sebagai raja. Namun, karena saat itu usia Gusti Ibrahim baru menginjak 14 tahun maka roda pemerintahan dijalankan oleh keluarga kerajaan yaitu Gusti Mahmud atau Mangkubumi yang memimpin Kerajaan Simpang hingga wafat pada 1952.
Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura II
1.Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat. Gusti Irawan merupakan putra kedua Sultan Muazuddin (Raja Kerajaan Matan) dan adik dari Sultan Muhammad Tajuddin yang melanjutkan tahta Sultan Muazuddin sebagai Raja Matan.
2.Pangeran Agung.
3.Sultan Mangkurat Berputra.
4.Panembahan Anom Kesuma Negara atau Muhammad Zainuddin Mursal (1829-1833). Panembahan Anom diberhentikan sebagai sultan sejak 1833 karena dianggap tidak loyal kepada Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Syah Raja Negara Sukadana. Posisi kepemimpinan Kerajaan Kayong kemudian dialihkan kepada kakak Pangeran Anom yaitu Pangeran Cakra Negara yang berkuasa sebagai Panembahan Matan pada periode 1833−1835. Atas campur tangan Belanda, mulai tahun 1835 Pangeran Anom kembali didudukkan menjadi Panembahan Matan hingga tahun 1847.
5.Pangeran Muhammad Sabran. Muhammad Sabran adalah anak dari Panembahan Anom. Ketika diresmikan menjadi sultan dengan Surat Keputusan Gubernemen (Pemerintah Kolonial Hindia Belanda) No. 3 tertanggal 11 Maret 1847, Pangeran Muhammad Sabran masih berusia sangat muda sehingga dibentuklah sebuah presidium yang beranggotakan 5 orang menteri dan diketuai oleh Pangeran Mangkurat untuk menjalankan roda pemerintahan. Muhammad Sabran baru menjabat sebagai Panembahan Matan pada 1856. Pada masa pemerintahan Panembahan Muhammad Sabran, pusat kerajaan berpindah dari Tanjungpura ke Muliakerta, Ketapang, Kalimantan Barat. Panembahan Sabran memerintah hingga tahun 1908. Setahun kemudian, pada 1909, Panembahan Sabran meninggal dunia.
6.Gusti Muhammad Saunan, Muhammad Saunan merupakan cucu dari Panembahan Sabran yang dinobatkan sebagai pewaris tahta kerajaan karena sang putra mahkota, anak pertama Panembahan Sabran yang bernama Pangeran Ratu Gusti Muhammad Busra, wafat terlebih dulu dari ayahnya. Ketika dilantik sebagai pemimpin kerajaan pada 1909, Gusti Muhammad Saunan (putra pertama Gusti Muhammad Busra) masih belum cukup dewasa, maka kendali pemerintahan dipegang oleh Uti Muchsin Pangeran Laksamana Anom Kesuma Negara (paman Gusti Muhammad Saunan/adik Gusti Muhammad Busra). Gusti Muhammad Saunan resmi menjabat sebagai Panembahan Matan pada 1922 dan meninggal dunia pada era pendudukan Jepang di Indonesia yaitu tahun 1942.

Gusti Muhammad Saunan.
Meski terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan, namun kerajaan-kerajaan turunan Kerajaan Tanjungpura (Kerajaan Sukadana, Kerajaan Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura II) masih tetap eksis dengan pemerintahannya masing-masing. Silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Matan (dan sebelum berdirinya Kerajaan Matan) di atas adalah salah satu versi yang berhasil diperoleh. Terdapat versi lain yang juga menyebutkan silsilah raja-raja Matan yang diperoleh dari keluarga Kerajaan Matan sendiri dengan menghimpun data dari berbagai sumber (P.J. Veth, 1854; J.U. Lontaan, 1975; H. von Dewall, 1862; J.P.J. Barth, 1896; Silsilah Keluarga Kerajaan Matan-Tanjungpura; Silsilah Raja Melayu dan Bugis; Raja Ali Haji, Tufat al-Nafis; Harun Jelani, 2004; H.J. de Graaf, 2002; Gusti Kamboja, 2004), yakni sebagai berikut:
Kerajaan Tanjungpura
1.Sang Maniaka atau Krysna Pandita (800 M−?); Menurut Bustan Arifin Al Salatin, Sejarah Nasional, Sejarah Melayu, Pengaruh Syailendra dan Sriwijaya (850-900).
2.Hyang-Ta (900?−977); Menurut kronik Cina, Pengaruh Sriwijaya Periode Kerajaan Kalingga (India Selatan).
3.Siak Bahulun (977−1025); Menurut Sejarah Kalimantan Barat/Cerita Lisan Periode serangan Kerajaan Cola (India Selatan) ke Sriwijaya.
4.Rangga Sentap (1290−?); Taklukan Singhasari, Ekspedisi Pamalayu Periode Singhasari (1222−1293).
5.Prabu Jaya/Brawijaya (1447-1461); Taklukan Majapahit, menurut Negarakertagama, menurut Prasasti Waringin Pitu (1447).
6.Raja Baparung, Pangeran Prabu (1461−1481).
7.Karang Tunjung, Panembahan Pudong Prasap (1481−1501).
8.Panembahan Kalahirang (1501−1512); Kerajaan pindah ke Sukadana, politik ekspansi sampai Tanjung Datuk, Tanjung Putting, Karimata, dan Pulau Tujuh.
9.Panembahan Bandala (1512−1538); Anak Kalahirang.
10.Panembahan Anom (1538−1565); Saudara Panembahan Bandala.
11.Panembahan Dibarokh atau Sibiring Mambal (1565−1590).
Kerajaan Matan
1.Giri Kusuma (1590−1608); Anak Panembahan Bandala.
2.Ratu Sukadana atau Putri Bunku/Ratu Mas Jaintan (1608−1622); Istri Giri Kusuma/Anak Ratu Prabu Landak.
3.Panembahan Ayer Mala (1622−1630); Anak Panembahan Bandala.
4.Sultan Muhammad Syafeiudin, Giri Mustaka, atau Pangeran Iranata/Cakra (1630−1659); Anak/Menantu Giri Kusuma.
5.Sultan Muhammad Zainuddin/Pangeran Muda (1659−1725); Anak Sultan Muhammad Syaeiuddin.
6. a.Pangeran Agung (1710−1711); Perebutan kekuasaan.
b.Pangeran Agung Martadipura (1725−1730); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan memimpin kerajaan di Tanah Merah.
7.Pangeran Mangkurat/Sultan Aliuddin Dinlaga (1728−1749); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan di Sandai dan Tanah Merah.
a.Pangeran Ratu Agung (1735−1740); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Simpang.
b.Sultan Muazzidin Girilaya (1749−1762); Anak Pangeran Ratu Agung, memimpin kerajaan di Simpang.
8.Sultan Akhmad Kamaluddin/Panembahan Tiang Tiga (1762−1792); Anak Sultan Aliuddin Dinlaga.
9.Pangeran Ratu atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1792−1830); Anak Sultan Akhmad Kalamuddin.
10.Pangeran Adi Mangkurat Iradilaga atau Panembahan Anom Kusuma Negara (1831−1843); Anak Pangeran Mangkurat.
11.Pangeran Cakra yang Tua atau Pangeran Jaya Anom (1843−1845); Sebagai pejabat perdana menteri, anak Pangeran Mangkurat.
12.Panembahan Gusti Muhammad Sabran (1845−1908); Anak Panembahan Anom Kusuma Negara.
13.Pangeran Laksamana Uti Muchsin (1908−1924); Anak Panembahan Gusti Muhammad Sabran.
14.Panembahan Gusti Muhammad Saunan atau Pangeran Mas (1924−1943); Anak Gusti Muhammad Busra.
15.Majelis Pemerintah Kerajaan Matan (1943−1948), terdiri dari Uti Halil (Pg. Mangku Negara), Uti Apilah (Pg. Adipati), Gusti Kencana (Pg. Anom Laksamana).
3. Wilayah Kekuasaan
Wilayah Kerajaan Tanjungpura yang menurunkan Kerajaan Sukadana, Kerajaan Matan, Kerajaan Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan, cukup sulit dipetakan dengan pasti. Seperti yang telah dipaparkan di atas, pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan. Salah satu pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura adalah di Negeri Baru (disebut juga Benua Lama). Menurut beberapa sejarawan, Kota Baru terletak di Ketapang, Kalimantan Barat. Kerajaan Tanjungpura sering dikenal juga dengan nama Bakulapura dengan ibunegerinya di Tanjungpuri (Mulia [ed.], 2007:5). Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana hingga berdirinya kerajaan baru bernama Kerajaan Sukadana.
Kedudukan Kerajaan Tanjungpura Berdasarkan Peta Kuno Tahun 1602 yang Dibuat oleh Theodore de Bry.
Kerajaan Sukadana telah merintis perluasan kekuasaannya pada masa pemerintahan Panembahan Baroh (1548−1550) hingga ke daerah pedalaman Sungai Melano, yaitu sampai ke sebuah desa bernama Desa Matan (sekarang bernama Desa Batu Barat) yang kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Pengembangan wilayah kekuasaan ini adalah juga dalam usaha mengembangkan agama Islam yang telah masuk ke Sukadana. Perpindahan ini juga mempengaruhi arus perpindahan penduduk Sukadana yang bermigrasi ke pedalaman, menyusuri tepian Sungai Melano, Sungai Matan, Sungai Bayeh, dan bermukim di Kampung Bukang, Banjor, Kembereh, Gerai, Kalam, Simpang Dua, hingga ke daerah Balaiberkuak.
Meskipun pusat pemerintahan Kerajaan Sukadana telah dipindahkan ke Desa Matan sejak masa kepemimpinan Panembahan Baroh, namun nama Kerajaan Matan baru dikenal pada era pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724), yang menegaskan bahwa pusat kerajaan berada di daerah Sungai Matan (Rahman, tt:110). Pada 1637, pusat pemerintahan Kerajaan Matan berpindah lagi, kali ini ke Indra Laya yang terletak di Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kemudian, kerajaan kembali berpindah ke Kartapura, kemudian baru ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Setelah era pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin (1762-1819), raja terakhir Dinasti Matan, berakhir, pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke wilayah bernama Simpang, letaknya tidak seberapa jauh dari Matan, dan nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan karena kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Matan. Sebelumnya, Kerajaan Kayong-Matan sudah terlebih dulu berdiri sebagai akibat dari perpecahan internal Kerajaan Matan. Maka kemudian disepakatilah pembagian wilayah antara Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan dengan batas Sungai Pawan. Sebelah kiri Sungai Pawan adalah wilayah Kerajaan Simpang-Matan sementara wilayah Kerajaan Kayon-Matan adalah di sebelah kanan sungai.
Nama Simpang-Matan digunakan karena kerajaan ini berada di persimpangan dua sungai: satu cabang teletak di sebelah kanan Sungai Matan, dan cabang lainnya berada di sebelah kiri Sungai Pagu di Lubuk Batu. Jarak antara Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan cukup dekat, dapat ditempuh dalam waktu setengah hari.
4. Sistem Pemerintahan
Pendiri Kerajaan Tanjungpura adalah Raja Brawijaya dari Majapahit. Dalam menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Tanjungpura, Raja Brawijaya dibantu oleh lima saudaranya yang masing-masing didaulat mengampu lima suku dengan pangkat, tugas, serta wewenang yang berbeda. Pertama adalah Maya Agung yang bertugas menerima setiap utusan yang datang ke kerajaan. Maya Agung merupakan hulubalang pertama atau bertindak sebagai wakil raja yang diberi kewenenangan menangani urusan-urusan besar, termasuk perang dan menggelar upacara penobatan raja. Kedua adalah Mengkalang yang bertugas menangani hal-hal yang tidak bisa dilakukan raja dan Maya Agung. Suku ketiga dinamakan Priyayi atau Rerahi Muka Raja yang menjalankan fungsinya sebagai pengisi kekosongan pemerintahan ketika raja wafat dan belum ada penggantinya. Suku keempat adalah Siring yang menjadi pengiring raja dan pemegang pusaka raja. Terakhir adalah suku Mambal dengan tugas sebagai penambal urusan-urusan raja, istana, adat, dan sarana-sarana yang rusak. Kelima suku inilah yang berhak untuk menyelenggarakan prosesi pengangkatan dan penobatan raja (Mulia [ed.], 2007:9).
Ketika Kerajaan Tanjungpura berganti nama menjadi Kerajaan Sukadana, ajaran Islam mulai masuk dan perlahan-lahan menggeser agama Buddha yang menjadi keyakinan Brawijaya pada era Kerajaan Tanjungpura, kendati keluarga kerajaan belum memeluk Islam. Perkembangan ajaran Islam yang dibawa pedagang-pedagang Arab dari Palembang pada permulaan tahun 1500 bertambah pesat pada masa pemerintahan Panembahan Baroh, meski raja ini juga belum memeluk Islam.
Pada masa ini, penyebutan raja mulai diganti dengan gelar gusti. Gelar di lingkungan kerajaan bukanlah menunjukkan kasta/kelas sosial, namun cenderung merujuk pada ikatan kekerabatan yang menganut garis laki-laki atau dari keturunan bapak (patriarki). Sementara, panembahan pertama yang memeluk agama Islam adalah Giri Kesuma atau Gusti Aliuddin atau Panembahan Sorgi (1590−1604) yang menggantikan Panembahan Baroh. Pada masa inilah, keberadaan calon Kerajaan Matan sudah merintis pondasi dan sudah mulai berperan di samping sisa-sisa kerajaan sebelumnya, yaitu Kerajaan Sukadana, yang masih berdiri (De Graaf & Pigeaud, 1989:172).
Memasuki pertengahan abad ke-18, penjajah Belanda mulai turut campur dalam pemerintahan kerajaan pada masa Sultan Muhammad Jamaluddin yang menjadi raja terakhir Kerajaan Matan sebelum mendirikan Kerajaan Simpang-Matan, sementara Kerajaan Kayong-Matan berdiri di bawah pimpinan Gusti Irawan dengan gelar Sultan Mangkurat. Belanda mulai membangun tangsi-tangsi militer di wilayah Kerajaan Simpang-Matan serta menjadikan daerah Sukadana sebagai basis kekuatan dan pertahanannya dalam menguasai daerah-daerah pantai selatan di Kalimantan Barat.
Perkembangan selanjutnya adalah Belanda kemudian mengadakan perjanjian dengan Sultan Simpang-Matan dengan kedok menawarkan jasa kepada Sultan untuk mengurusi wilayah Kerajaan Simpang-Matan yang terlalu luas. Tawaran ini diterima oleh Sultan Muhammad Jamaluddin hingga akhirnya Belanda berhasil menguasai Kerajaan Simpang-Matan. Sejak saat itu, pengaruh Belanda semakin kuat dan selalu mencampuri urusan-urusan internal kerajaan kendati beberapa kali terjadi perlawanan dari orang-orang kerajaan untuk menangkal pengaruh Belanda, seperti perlawanan Gusti Panji bergelar Panembahan Suryaningrat (raja keempat Kerajaan Simpang-Matan), Patih Kampung Sepuncak (Hulubalang I), Uti Usma, Gusti Muhammad Shalehan, Gusti Hamzah, dan lain-lainnya
Istana Matan-Tanjungpura Sekarang
Pada era pendudukan militer Jepang yang menggusur kolonialisme Belanda sejak tahun 1942, rakyat serumpun Kerajaan Matan mengalami masa-masa mencekam akibat kekejaman Jepang. Tanggal 23 April 1943, Jepang menangkap raja-raja di Kalimantan Barat dan nyaris semuanya dibunuh. Gusti Mesir, Sultan Kerajaan Simpang-Matan beruntung dapat lolos dari pembunuhan massal itu. Akan tetapi, nasib tragis menimpa Gusti Muhammad Saunan, yang memimpin Kerajaan Kayong-Matan sejak tahun 1922. Panembahan Matan terakhir ini meninggal dunia tahun 1943 sebagai korban fasisme Jepang (Rahman, 2000:22).
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, wilayah yang semula di bawah kuasa kerajaan dihimpun dalam suatu daerah pemerintahan yang disebut swapraja dan dibentuklah suatu majelis yang bernama Majelis Pemerintahan Kerajaan Matan (MPKM) sebagai pengampu pemerintahan adat. Pada akhirnya, seiring dengan terbentuknya pemerintahan di daerah-daerah pascapenyerahan kedaulatan dari Belanda ke pemerintah Republik Indonesia tahun 1949, wilayah kerajaan ini dilebur dan diserah terimakan kepada Pemerintah Daerah Kalimantan

Daftar Pustaka:
Ansar, Rahman. 2000. Perspektif Berdirinya Kota Pontianak. Pontianak: Tanpa Penerbit.
_______. Tanpa Tahun. Sejarah Kerajaan Tanjungpura-Matan. Tanpa Penerbit.
Barth, J.P.J. 1896. Overzicht der afdeeling Soekadana. Batavia : Albrecht.
De Graaf, H.J. 2002. Puncak Kekuasaan Mataram. Jakarta: Grafiti Press-KITLV.
De Graaf, H.J. & Pigeaud, T.H. 1989. Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti dan KITLV.
Harun, Jelani. 2004. Bustan al-Salatin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Lontaan, J.U. 1975. Sejarah, Hukum Adat, dan Adat Istiadat Kalimantan-Barat. Pontianak: Pilindo.
Mulia, Gusti Mhd (ed.). 2007. Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura. Pontianak: Tanpa Penerbit.
Raja Ali Haji, Tufat al-Nafis.
Silsilah Keluarga Kerajaan Matan-Tanjungpura.
Silsilah Raja Melayu dan Bugis.
Veth, P.J. 1854. Borneo‘s Wester Afdeling. Zaltbommel: Noman en Zoon.
Von Dewall, H. 1862. “Matan, Simpang, Soekadana, de Karimata-eilanden en Koeboe (Wester-afdeeling van Borneo)”, dalam Tijdschrisft voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde, Deel XI, Vierde Serie Deel II, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Batavia.