KERATON
AMANTUBILLAH MEMPAWAH
A. Pendahuluan
Bagi yang belum pernah datang ke Kota
Mempawah, ibu kota Kabupaten Pontianak, barangkali tidak akan menyangka kalau
di sana masih ada istana atau keraton peninggalan salah satu kerajaan Islam
tertua di Kalimantan Barat.
Namun, Kota Mempawah yang sehari-hari
sepi-kalah ramainya dibandingkan dengan kota Kecamatan Sungai Pinyuh-mendadak
meriah dan semarak. Ribuan orang dari berbagai penjuru Kalimantan Barat
(Kalbar) datang ke Mempawah untuk mengunjungi Istana Amantubillah.
Maklum saja, Istana Amantubillah hari
itu menyelenggarakan perhelatan akbar dengan beragam tradisi. Padahal, istana
ini sudah cukup lama tidak menggelar kegiatan tradisi dan budaya sebagaimana
mestinya, karena Pangeran Gusti Jimmy Mohammad Ibrahim yang memangku Panembahan
Istana Amantubillah dalam beberapa tahun terakhir tidak bisa memimpin akibat
sakit. Itulah sebabnya, pada 12 Agustus 2002 Jimmy Mohammad Ibrahim selaku Raja
Istana Amantubillah XII menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Ratu Mardan
Adijaya Kesuma Ibrahim sebagai Raja Istana Amantubillah XIII.
Panembahan Istana Amantubillah XII, kata
Pangeran Gusti Agus Muharso Taufik yang juga kakak sulung Mardan Adijaya,
memutuskan Mardan menjadi penggantinya karena memiliki kecakapan memimpin dan
peduli dengan persoalan istana, termasuk bersosialisasi dengan masyarakat.
Meskipun tidak sama persis, proses
syukuran pengukuhan itu terlihat mirip yang dilakukan keraton-keraton besar,
seperti di Yogyakarta dan Surakarta. Kehadiran para utusan kerabat kerajaan
dari sekitar 15 keraton di Indonesia membuktikan bahwa Kerajaan Mempawah masih
diakui sebagai salah satu kerajaan Islam tertua di Tanah Air.
APA arti Istana Amantubillah bagi
pengembangan pariwisata Kalimantan Barat?
Gubernur Kalbar Usman Ja’far mengatakan,
bagi Provinsi Kalbar sekarang harus diakui masih sebatas memberikan informasi
mengenai potensi-potensi wisata daerah.
Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma
Ibrahim mengatakan, pengukuhan dirinya sebagai panembahan bukanlah untuk
kembali membangun semangat feodalisme. Tetapi, kegiatan ini untuk kembali
menghargai sejarah, tradisi, dan budaya.
Oleh karena itu, kata Mardan, sudah
saatnya bangsa ini meninggalkan rasa saling curiga dan saling bermusuhan satu
sama lain. Dalam situasi sulit sekarang, bangsa Indonesia seharusnya semakin
memperkuat persatuan bangsa.
"Kalau
sekarang sejumlah negara bergabung menjadi satu untuk memperkokoh bangsa,
justru sangat aneh kalau ada di antara kita yang ingin memisahkan diri,"
kata Mardan Adijaya yang sehari-hari dosen di Fakultas Pertanian Universitas
Tanjungpura, Pontianak.
Para
raja di Istana Amantubillah memiliki tiga hal yang harus diperhatikan atau
disebut juga tiga pacak. Pacak pertama adalah lela (ujung lidah). Dengan pacak
ini para kerabat Keraton Amantubillah hendaknya menyelesaikan masalah secara
diplomasi atau musyawarah, dan tidak melakukan kekerasan.Pacak kedua adalah
lasa (kemaluan). Pacak ini diartikan sebagai upaya menjalin hubungan dengan
kerajaan lain dengan tali perkawinan. Adapun pacak yang terakhir adalah badik.
Ini jika tidak dapat dihindari lagi hubungan antarkeraton dilakukan dengan peperangan
sebagai langkah terakhir.Bersamaan dengan acara pengukuhan tersebut, juga
digelar acara budaya keraton serumpun. Gelar budaya yang berlangsung tiga hari
ini menampilkan berbagai atraksi dan lomba kesenian serta pertandingan olahraga
tradisional.
Upacara syukuran Raja Istana
Amantubillah XIII juga dihadiri sejumlah pejabat dan para tokoh di Provinsi
Kalbar, di antaranya mantan Gubernur Kalbar Aspar Aswin dan Wakil Gubernur
Kalbar Djawari. Dari lingkungan keraton di luar Kalbar, di antaranya hadir Kanjeng
Gusti Raden Ayu Koes Moeryati dari Kesultanan Surakarta Hadiningrat.
ISTANA Amantubillah di Mempawah memang
tidak sebesar Keraton Kadariah di Kota Pontianak atau Keraton Sambas di
Kabupaten Sambas. Namun, dilihat dari arsitektur bangunannya, Istana Amantubillah
yang berbentuk rumah panggung ini sangat unik. Semuanya terbuat dari kayu
dengan ornamen ukiran yang detail, dan kondisinya cukup baik hingga sekarang.
Istana ini memang mencerminkan asal
pendiri kerajaan itu, yakni Opu Daeng Manambon dari Luwu, Sulawesi Selatan.
Pada bangunan utama, ruang tengah istana berbentuk huruf "L".
Istana Amantubillah sebenarnya bukanlah
pusat Kerajaan Mempawah pertama. Kerajaan ini dibangun Panembahan Mohammad
Taufik Akkamaddin tahun 1922 sebagai raja yang ke-11.
Istana ini adalah pusat kerajaan yang kelima. Kerajaan
Mempawah pertama kali berpusat di Pegunungan Sidiniang (kini di daerah Mempawah
Hulu) sekitar tahun 1380. Kerajaan ini juga disebut Kerajaan Sidiniang. Saat
itu kerajaan itu dikenal sebagai kerajaan suku Dayak dengan rajanya bernama
Patih Gumantar.
Tahun 1880, di masa Panembahan Ibrahim
Muhammad Syafeiudin, istana ini pernah terbakar. Keraton Mempawah sekarang
dibangun oleh Gusti Taufik dengan gelar Panembahan Taufik Muhammad Akkamaddin
tahun 1922. Gusti Taufik juga merupakan raja terakhir yang memerintah kerajaan
itu.
Makam raja ini sampai sekarang tidak
diketahui, karena menjadi korban penculikan dan pembunuhan tentara Jepang pada
masa Perang Dunia II. Sejak Republik Indonesia berdiri tahun 1945, Gusti H Jimmy
Mohammad Ibrahim sebagai putra mahkota tidak berkuasa lagi karena kewenangan
telah diserahkan kepada Pemerintah RI.
Istana Amantubillah adalah nama
istana dari Kesultanan Mempawah di Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan
Barat. Kata amantubillah berasal dari bahasa Arab yang berarti “aku beriman
kepada Allah. Nama istana tersebut mencerminkan bahwa sultan dan masyarakat
Kesultanan Mempawah sangat percaya kepada Allah dan sekaligus melambangkan
betapa kuatnya ajaran agama Islam terpatri pada setiap diri orang
Melayu.
Kesultanan
Mempawah
mulai dikenal pascakedatangan rombongan Opu Daeng Menambun dari Kerajaan Matan,
Tanjungpura, ke Sebukit Rama, Mempawah lokasi Istana Amantubillah yang
sekarang, sekitar tahun 1737 M. Eksistensinya kian diperhitungkan di kancah
internasional setelah Opu Daeng Menambun dengan gelar Pangeran Mas Surya Negara
naik tahta menggantikan Sultan Senggauk pada tahun 1740 M. Apalagi pada masa
pemerintahannya, Habib Husein Alkadri, mantan hakim agama di Kerajaan Matan,
pindah ke Kesultanan Mempawah. Maka, orang pun kemudian berbondong-bondong
datang ke Mempawah tidak hanya untuk melakukan kontak dagang atau kontrak
politik, tapi juga untuk mempelajari dan mendalami agama Islam.
Istana Amantubillah sesungguhnya
baru didirikan sekitar tahun 1761 M oleh Panembahan Adi Wijaya Kesuma, sultan
ke-3 Kesultanan Mempawah. Namun apa hendak dikata, pada tahun 1880 M istana
tersebut terbakar. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Panembahan
Ibrahim Muhammad Syafiuddin, sultan ke-9. Istana yang terlihat sekarang ini
baru dibangun pada tahun 1922, ketika Gusti Taufik yang bergelar Panembahan
Muhammad Taufik Akkamuddin, sultan ke-11, naik tahta.
Terhitung sejak tanggal 12 Agustus
2002, tampuk kepemimpinan Kesultanan Mempawah dipercayakan kepada Pangeran Ratu
Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, sebagai sultan ke-13.
B. Keistimewaan
Sejuk
dan artistik. Begitulah kira-kira kesan yang muncul ketika mengunjungi Istana
Amantubillah. Rumputnya yang hijau, pepohonan palem yang berjajar rapi, serta
berbagai jenis bunga yang tertata dengan baik kian menguatkan kesan tersebut.
Apalagi kondisi fisik bangunan istana yang didominasi warna hijau muda tersebut
masih terlihat bagus dengan dukungan ornamen-ornamen khas Melayu.
Di
halaman istana, pengunjung dapat melihat alun-alun yang berumput hijau dan
Masjid Jamiatul Khair, masjid Kesultanan Mempawah, yang berdiri anggun.
Bangunan
Istana Amantubillah terdiri dari tiga bagian. Bangunan utamanya terletak di
tengah-tengah, sedangkan bangunan pendukungnya berada di sayap kanan dan kiri.
Bangunan utama ini dahulunya merupakan tempat singgasana sultan dan permaisuri,
serta tempat tinggal sultan beserta keluarganya. Di ruangan ini pengunjung
dapat melihat foto-foto sultan beserta keluarganya, keris, busana kebesaran,
dan payung kerajaan. Bangunan sayap kanan istana dahulunya digunakan sebagai
tempat mempersiapkan keperluan dan tempat jamuan makan keluarga istana.
Sekarang, bangunan tersebut difungsikan sebagai tempat tinggal kerabat istana.
Sedangkan bangunan sayap kiri istana difungsikan sebagai pendopo istana.
Bangunan tersebut dahulunya digunakan sebagai aula dan tempat mengurus segala
sesuatu yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Di
kompleks istana, pengunjung dapat melihat kolam bekas pemandian sultan beserta keluarganya.
Sayang, kolam pemandian tersebut tidak berfungsi lagi, karena pendangkalan dan
tertutupnya saluran air yang menghubungkan kolam tersebut dengan anak Sungai
Mempawah.
Selain
itu, pengunjung juga masih dapat melihat bekas tempat peristirahatan dan tempat
bersantai (gazebo) sultan beserta keluarganya.
C. Lokasi
|
Letak Mempawah |
Istana
Amantubillah terletak di Kelurahan Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur,
Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses
Kota
Mempawah berjarak sekitar 67 kilometer di sebelah utara Kota Pontianak, ibu
kota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Bandara Supadio atau Terminal Bus
Pontianak, pengunjung dapat naik taksi, travel, dan bus sampai Kota Mempawah,
ibu kota Kabupaten Pontianak. Dari Kota Mempawah, Istana Amantubillah berjarak
sekitar 10 kilometer dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Pengunjung dapat
mengakses istana yang berada di sekitar kawasan Sebukit Rama tersebut dengan
menggunakan bus atau minibus.
E. Harga Tiket
Pengunjung
tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di
sekitar Istana Amantubillah terdapat fasilitas, seperti masjid, tempat
penginapan, warung makan, dan kios wartel. Di samping itu, jalan menuju istana
ini sudah beraspal mulus, sehingga memudahkan pengunjung yang menggunakan
kendaraan roda dua maupun roda empat untuk mengaksesnya.
Daftar Pustaka
Suryani, elyas soren, 2005, sejarah mempawah. Mempawah
Usman,sarifudin, 1999,
Sejarah Kalimantan Barat.
Pontianak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar