Minggu, 07 April 2013

Keraton Mempawah


KERATON AMANTUBILLAH MEMPAWAH



 A.    Pendahuluan
Bagi yang belum pernah datang ke Kota Mempawah, ibu kota Kabupaten Pontianak, barangkali tidak akan menyangka kalau di sana masih ada istana atau keraton peninggalan salah satu kerajaan Islam tertua di Kalimantan Barat.
Namun, Kota Mempawah yang sehari-hari sepi-kalah ramainya dibandingkan dengan kota Kecamatan Sungai Pinyuh-mendadak meriah dan semarak. Ribuan orang dari berbagai penjuru Kalimantan Barat (Kalbar) datang ke Mempawah untuk mengunjungi Istana Amantubillah.
Maklum saja, Istana Amantubillah hari itu menyelenggarakan perhelatan akbar dengan beragam tradisi. Padahal, istana ini sudah cukup lama tidak menggelar kegiatan tradisi dan budaya sebagaimana mestinya, karena Pangeran Gusti Jimmy Mohammad Ibrahim yang memangku Panembahan Istana Amantubillah dalam beberapa tahun terakhir tidak bisa memimpin akibat sakit. Itulah sebabnya, pada 12 Agustus 2002 Jimmy Mohammad Ibrahim selaku Raja Istana Amantubillah XII menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim sebagai Raja Istana Amantubillah XIII.
Panembahan Istana Amantubillah XII, kata Pangeran Gusti Agus Muharso Taufik yang juga kakak sulung Mardan Adijaya, memutuskan Mardan menjadi penggantinya karena memiliki kecakapan memimpin dan peduli dengan persoalan istana, termasuk bersosialisasi dengan masyarakat.
Meskipun tidak sama persis, proses syukuran pengukuhan itu terlihat mirip yang dilakukan keraton-keraton besar, seperti di Yogyakarta dan Surakarta. Kehadiran para utusan kerabat kerajaan dari sekitar 15 keraton di Indonesia membuktikan bahwa Kerajaan Mempawah masih diakui sebagai salah satu kerajaan Islam tertua di Tanah Air.
APA arti Istana Amantubillah bagi pengembangan pariwisata Kalimantan Barat?
Gubernur Kalbar Usman Ja’far mengatakan, bagi Provinsi Kalbar sekarang harus diakui masih sebatas memberikan informasi mengenai potensi-potensi wisata daerah.
Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim mengatakan, pengukuhan dirinya sebagai panembahan bukanlah untuk kembali membangun semangat feodalisme. Tetapi, kegiatan ini untuk kembali menghargai sejarah, tradisi, dan budaya.
Oleh karena itu, kata Mardan, sudah saatnya bangsa ini meninggalkan rasa saling curiga dan saling bermusuhan satu sama lain. Dalam situasi sulit sekarang, bangsa Indonesia seharusnya semakin memperkuat persatuan bangsa.

"Kalau sekarang sejumlah negara bergabung menjadi satu untuk memperkokoh bangsa, justru sangat aneh kalau ada di antara kita yang ingin memisahkan diri," kata Mardan Adijaya yang sehari-hari dosen di Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Para raja di Istana Amantubillah memiliki tiga hal yang harus diperhatikan atau disebut juga tiga pacak. Pacak pertama adalah lela (ujung lidah). Dengan pacak ini para kerabat Keraton Amantubillah hendaknya menyelesaikan masalah secara diplomasi atau musyawarah, dan tidak melakukan kekerasan.Pacak kedua adalah lasa (kemaluan). Pacak ini diartikan sebagai upaya menjalin hubungan dengan kerajaan lain dengan tali perkawinan. Adapun pacak yang terakhir adalah badik. Ini jika tidak dapat dihindari lagi hubungan antarkeraton dilakukan dengan peperangan sebagai langkah terakhir.Bersamaan dengan acara pengukuhan tersebut, juga digelar acara budaya keraton serumpun. Gelar budaya yang berlangsung tiga hari ini menampilkan berbagai atraksi dan lomba kesenian serta pertandingan olahraga tradisional.

Upacara syukuran Raja Istana Amantubillah XIII juga dihadiri sejumlah pejabat dan para tokoh di Provinsi Kalbar, di antaranya mantan Gubernur Kalbar Aspar Aswin dan Wakil Gubernur Kalbar Djawari. Dari lingkungan keraton di luar Kalbar, di antaranya hadir Kanjeng Gusti Raden Ayu Koes Moeryati dari Kesultanan Surakarta Hadiningrat.
ISTANA Amantubillah di Mempawah memang tidak sebesar Keraton Kadariah di Kota Pontianak atau Keraton Sambas di Kabupaten Sambas. Namun, dilihat dari arsitektur bangunannya, Istana Amantubillah yang berbentuk rumah panggung ini sangat unik. Semuanya terbuat dari kayu dengan ornamen ukiran yang detail, dan kondisinya cukup baik hingga sekarang.
Istana ini memang mencerminkan asal pendiri kerajaan itu, yakni Opu Daeng Manambon dari Luwu, Sulawesi Selatan. Pada bangunan utama, ruang tengah istana berbentuk huruf "L".
Istana Amantubillah sebenarnya bukanlah pusat Kerajaan Mempawah pertama. Kerajaan ini dibangun Panembahan Mohammad Taufik Akkamaddin tahun 1922 sebagai raja yang ke-11. Istana ini adalah pusat kerajaan yang kelima. Kerajaan Mempawah pertama kali berpusat di Pegunungan Sidiniang (kini di daerah Mempawah Hulu) sekitar tahun 1380. Kerajaan ini juga disebut Kerajaan Sidiniang. Saat itu kerajaan itu dikenal sebagai kerajaan suku Dayak dengan rajanya bernama Patih Gumantar.
Tahun 1880, di masa Panembahan Ibrahim Muhammad Syafeiudin, istana ini pernah terbakar. Keraton Mempawah sekarang dibangun oleh Gusti Taufik dengan gelar Panembahan Taufik Muhammad Akkamaddin tahun 1922. Gusti Taufik juga merupakan raja terakhir yang memerintah kerajaan itu.
Makam raja ini sampai sekarang tidak diketahui, karena menjadi korban penculikan dan pembunuhan tentara Jepang pada masa Perang Dunia II. Sejak Republik Indonesia berdiri tahun 1945, Gusti H Jimmy Mohammad Ibrahim sebagai putra mahkota tidak berkuasa lagi karena kewenangan telah diserahkan kepada Pemerintah RI.
Istana Amantubillah adalah nama istana dari Kesultanan Mempawah di Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Kata amantubillah berasal dari bahasa Arab yang berarti “aku beriman kepada Allah. Nama istana tersebut mencerminkan bahwa sultan dan masyarakat Kesultanan Mempawah sangat percaya kepada Allah dan sekaligus melambangkan betapa kuatnya ajaran agama Islam terpatri pada setiap diri orang Melayu.  
Kesultanan Mempawah mulai dikenal pascakedatangan rombongan Opu Daeng Menambun dari Kerajaan Matan, Tanjungpura, ke Sebukit Rama, Mempawah lokasi Istana Amantubillah yang sekarang, sekitar tahun 1737 M. Eksistensinya kian diperhitungkan di kancah internasional setelah Opu Daeng Menambun dengan gelar Pangeran Mas Surya Negara naik tahta menggantikan Sultan Senggauk pada tahun 1740 M. Apalagi pada masa pemerintahannya, Habib Husein Alkadri, mantan hakim agama di Kerajaan Matan, pindah ke Kesultanan Mempawah. Maka, orang pun kemudian berbondong-bondong datang ke Mempawah tidak hanya untuk melakukan kontak dagang atau kontrak politik, tapi juga untuk mempelajari dan mendalami agama Islam.
Istana Amantubillah sesungguhnya baru didirikan sekitar tahun 1761 M oleh Panembahan Adi Wijaya Kesuma, sultan ke-3 Kesultanan Mempawah. Namun apa hendak dikata, pada tahun 1880 M istana tersebut terbakar. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin, sultan ke-9. Istana yang terlihat sekarang ini baru dibangun pada tahun 1922, ketika Gusti Taufik yang bergelar Panembahan Muhammad Taufik Akkamuddin, sultan ke-11, naik tahta.
Terhitung sejak tanggal 12 Agustus 2002, tampuk kepemimpinan Kesultanan Mempawah dipercayakan kepada Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, sebagai sultan ke-13.  

  B. Keistimewaan
  Sejuk dan artistik. Begitulah kira-kira kesan yang muncul ketika mengunjungi Istana Amantubillah. Rumputnya yang hijau, pepohonan palem yang berjajar rapi, serta berbagai jenis bunga yang tertata dengan baik kian menguatkan kesan tersebut. Apalagi kondisi fisik bangunan istana yang didominasi warna hijau muda tersebut masih terlihat bagus dengan dukungan ornamen-ornamen khas Melayu. 
Di halaman istana, pengunjung dapat melihat alun-alun yang berumput hijau dan Masjid Jamiatul Khair, masjid Kesultanan Mempawah, yang berdiri anggun.
Bangunan Istana Amantubillah terdiri dari tiga bagian. Bangunan utamanya terletak di tengah-tengah, sedangkan bangunan pendukungnya berada di sayap kanan dan kiri. Bangunan utama ini dahulunya merupakan tempat singgasana sultan dan permaisuri, serta tempat tinggal sultan beserta keluarganya. Di ruangan ini pengunjung dapat melihat foto-foto sultan beserta keluarganya, keris, busana kebesaran, dan payung kerajaan. Bangunan sayap kanan istana dahulunya digunakan sebagai tempat mempersiapkan keperluan dan tempat jamuan makan keluarga istana. Sekarang, bangunan tersebut difungsikan sebagai tempat tinggal kerabat istana. Sedangkan bangunan sayap kiri istana difungsikan sebagai pendopo istana. Bangunan tersebut dahulunya digunakan sebagai aula dan tempat mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Di kompleks istana, pengunjung dapat melihat kolam bekas pemandian sultan beserta keluarganya. Sayang, kolam pemandian tersebut tidak berfungsi lagi, karena pendangkalan dan tertutupnya saluran air yang menghubungkan kolam tersebut dengan anak Sungai Mempawah.
Selain itu, pengunjung juga masih dapat melihat bekas tempat peristirahatan dan tempat bersantai (gazebo) sultan beserta keluarganya.     

C. Lokasi
Letak Mempawah









Istana Amantubillah terletak di Kelurahan Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.  

D. Akses
Kota Mempawah berjarak sekitar 67 kilometer di sebelah utara Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Bandara Supadio atau Terminal Bus Pontianak, pengunjung dapat naik taksi, travel, dan bus sampai Kota Mempawah, ibu kota Kabupaten Pontianak. Dari Kota Mempawah, Istana Amantubillah berjarak sekitar 10 kilometer dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Pengunjung dapat mengakses istana yang berada di sekitar kawasan Sebukit Rama tersebut dengan menggunakan bus atau minibus.  

E. Harga Tiket
Pengunjung tidak dipungut biaya.

F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di sekitar Istana Amantubillah terdapat fasilitas, seperti masjid, tempat penginapan, warung makan, dan kios wartel. Di samping itu, jalan menuju istana ini sudah beraspal mulus, sehingga memudahkan pengunjung yang menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat untuk mengaksesnya. 



Daftar Pustaka
Suryani, elyas soren, 2005, sejarah mempawah. Mempawah
Usman,sarifudin, 1999,  Sejarah Kalimantan Barat. Pontianak






Tidak ada komentar:

Posting Komentar